Kamis, 22 April 2010






KUJANG SANG LEGENDA PARAHYANGAN


jika kita bertanya tentang senjata khas jawa barat, maka pikiran kita tertuju kepada "KUJANG". Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk menegakan kebenaran.
Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan masyarakat jawa barat yang notabene etnis sunda.Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda, kata "Hyang" mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa KandaNg Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang).sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga kini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda).
eksistensi kujang sebagai senjata tradisional masyarakat sunda tidak pudar di telan jaman. dan sebagai benda pusaka peninggalan leluhur yang memiliki nilai estetika yang tinggi dan filosofis, maka nama "kujang" menjadi sebuah legenda yang tak pernah padam dalam khasanah budaya sunda. sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
di antaranya : nama kampung; Parungkujang, Cikujang, Gunungkujang, Parakankujang. Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang (Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung Pamuntuan). Nama Batalyon; Batalyon Kujang pada Kodam Siliwangi. Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb. Nama tugu peringatan: Tugu Kujang di Kota Bogor.
Secara umum, Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
namun sangat disayangkan tidak adanya bukti yang otentik ataupun akurat mengenai kujang. hanya tercatat dalam pantun-pantun sunda dalam naskah-naskah kuno. Sekalipun alat ini berupa salah satu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. namun belum ditemukannya berita ataupun sumber-sumber sejarah yang otentik mengenai awal perkembangannya.
Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya.
Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; "Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan" atau melukiskan seorang wanita; "Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana" dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna hitam putih juga diberitakan bersulamkan gambar kujang "Umbul-umbul Pajajaran hideung sawareh bodas sawareh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayananâ".
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum. selain itu sebagai bukti kecintaan dan partisipasi para pecinta seni budaya sunda dalam melestatikan kebudayaan sunda.
Kujang merupakan senjata yang terbentuk dari budaya masyarakat Sunda pra-modern. Senjata tersebut dibuat oleh masyarakat dengan kultur peladang atau masyarakat huma. Pada peradaban masyarakat peladang dikenal perkakas-perkakas untuk membuka lahan atau untuk bercocok tanam (huma) seperti arit (sabit) dan parang. Perkakas seperti arit dan parang dipandang lebih banyak dipakai untuk berladang dibanding golok, misalnya untuk memangkas jerami, rerumputan liar, semak belukar (pohon-pohon perdu) atau untuk menebas ranting-ranting atau pohon-pohon dalam membuka areal peladangan.
Bentuk kujang diyakini mengalami perubahan bentuk atau paling tidak memiliki banyak varian bentuk. Kujang dengan bentuk yang tidak begitu artistik dan tampak sederhana, tanpa pamor, biasanya digunakan untuk alat perladangan (menebas, memotong) seperti yang digunakan untuk alat pertanian biasa. Kujang dengan bentuk artistik yang banyak dikenal oleh masyarakat sekarang ini biasanya memiliki pamor dan diperkirakan digunakan bukan hanya sebagai senjata untuk berperang, tetapi sebagai pusaka, azimat, atau digunakan sebagai mediasi supranatural dalam upacara-upacara tertentu.
Mencermati dari sisi bentuknya, kujang merupakan senjata sebagai representasi dari alat perladangan atau pertanian. Dalam wujud sebuah kujang paling tidak ada empat alat yang biasa digunakan masyarakat peladang, yaitu arit, kapak, gergaji, dan alat cukil.
di beberapa daerah di jawa barat, masih terdapat beberapa komunitas yang berupa kampung adat yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda ,Pancer Pangawinanan (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi ( Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara Nyacaran (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan "Unggah Kidang Turun Kujang" artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim "Nyacaran" sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan Ngahuma (berladang).
Kujang merupakan suatu senjata atau perkakas yang memiliki struktur dasar bentuk yang khas. Struktur dasar atau pola bentuk tersebut memiliki bagian-bagian yang tidak dimiliki oleh senjata atau perkakas lainnya seperti papatuk, siih, mata, waruga, tadah dan sebagainya.
Bagian-bagian kujang tersebut di antaranya:

Papatuk (Congo)
bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
bagian ujung yang runcing dan tajam digunakan sebagai alat untuk mencukil.
Waruga
nama bilahan (badan) kujang. Wujud waruga kujang yang melengkung menunjukkan bahwa kujang lebih menyerupai arit dibanding golok atau keris. Bagian beuteung (perut) bisa untuk menebas atau memotong karena bagian ini sangat tajam
Mata
lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang-lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang-lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut Kujang Buta.Bahkan selain itu, lubang pada mata kujang dapat digunakan untuk meraut lidi
Pamor
garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untuk mematikan musuh secara cepat.
Tonggong
sisi yang tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
Tadah
lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
Paksi
bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
Combong
lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
Selut
ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
Ganja
nama khas gagang (tangkai) kujang.
Kowak (Kopak)
nama khas sarung kujang..
Siih
runcing bergerigi menyerupai bentuk gergaji atau alat untuk memotong kayu, gerigi tajam tersebut bisa untuk menerat atau memberi tanda ketika memotong bambu dan sebagainya. Ketika difungsikan sebagai alat berperang, bagian ini bisa untuk menghancurkan daging musuh ketika ditusukkan dan ketika ditarik dari badan musuh

Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang ke-Mandalaan, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Saba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka,yaitu Neraka.

Bentuk dan Jenis Kujang
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
Kujang Ciung, yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung. Kujang Jago, kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago. Kujang Kuntul, kujang yang menyerupai burung Kuntul. Kujang Bangkong, kujang yang menyerupai bangkong (kodok).Kujang Naga, kujang yang bentuknya menyerupai naga.Kujang Badak, kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.Kudi, perkakas sejenis kujang.

kujang ciung
Kujang Ciung bentuknya menyerupai bentuk burung Ciung, melambangkan makhluk dunia atas. Kujang Ciung dipakai oleh bangsawan yang berkedudukan paling tinggi yaitu Raja, Prabu Anom (putra mahkota), Brahmesta (pendeta agung kerajaan) menurut Anis Djatisunda. Burung Ciung menjadi simbol pencitraan yang positif bagi masyarakat Sunda. Nama raja besar Sunda adalah Prabu Ciung Wanara yang sangat termashur, penamaan Ciung bertalian dengan keberadaan burung Ciung ketika itu. Ciung adalah burung dengan rupa yang elok, gagah ketika bertengger diatas ranting pohon, lincah dalam gerak, serta nyaring ketika berkicau. Sifat-sifat burung Ciung tersebut merupakan cerminan kecerdasan, pandai berdiplomasi, dan rupawan.
Pola Dasar Bentuk Struktur Kujang Ciung adalah Sabit pada bagian atas membentuk congo atau papatuk yang merupakan ujung atau bagian yang paling runcing pada kujang ciung. Ujung sabit atas yang melengkung ke bawah membentuk siih. Sabit Pada bagian bawah membentuk waruga (badan) sampai ke tadah kujang. Dua sabit tersebut saling membelakangi untuk membuat keseimbangan bentuk.
Kujang Ciung merupakan kujang yang paling banyak ditemukan dengan berbagai variasi bentuk. Varian-varian tersebut kalau dicermati masih tetap mengacu pada struktur dua sabit yang saling membelakangi, hanya saja pada bagian tertentu ada yang lebih tipis atau ada yang lebih lebar.

kujang jago
Kujang Jago menyerupai bentuk ayam Jago, melambangkan makhluk dunia atas, bentuknya sangat kecil, dipakai sebagai azimat atau simbol balapati (menurut Tedi Permadi), dipakai oleh para lulugu dan Sambilan. Kujang Jago menyerupai bentuk ayam Jago dengan paruh menukik kebawah ditambah jawer yang menghiasi kepala (siih). Ayam Jago merupakan simbol kejantanan oleh karena itu kujang Jago dipakai untuk balapati atau azimat.
Kujang Jago merupakan kujang yang bentuknya relatif kecil yang berbentuk mirip ayam Jago. Kujang Jago hampir mirip dengan kujang ciung, perbedaan yang paling menonjol pada kujang Jago adalah pada bagian congo (papatuk) yang melengkung searah dengan tadah berbentuk seperti paruh ayam jago, sementara kujang ciung justru sebaliknya, papatuk mengarah membelakangi tadah atau paling tidak arah papatuk lurus ke atas.
Pola dasar dari kujang jago merupakan paduan dari belah ketupat (layang-layang) pada bagian atasnya dan sabit pada bagian bawahnya. Konstruksi yang terbentuk dari belah ketupat seirama dengan bentuk waruga pada bagian atas (sekitar siih) yang cendrung lebar, sementara waruga bagian bawah sampai ke tadah cendrung kecil. Pada bagian waruga atas dan siih membentuk kepala ayam jago dengan bagian papatuk (congo) membentuk paruhnya.

kujang kuntul
Kujang Kuntul menyerupai bentuk burung Kuntul, melambangkan makhluk dunia atas, dipakai untuk senjata dan dimiliki oleh Patih dan para Mantri. Burung Kuntul yang kurus dan tinggi menginspirasi bentuk kujang yang bentuknya runcing memanjang. Bentuk ini mengindikasikan senjata yang dipakai untuk berperang (tidak pendek seperti kujang Ciung dan kujang Jago).
Kujang kuntul merupakan kujang dengan bentuk yang ramping dan panjang. Rupa sabit yang identik dengan kujang tidak begitu menonjol pada kujang kuntul, bahkan bentuknya yang memanjang seperti layaknya pisau, hanya saja kujang kuntul masih menampakkan karakteristik kujang seperti tadah, siih, mata, pamor dan sebagainya.
kujang kuntul memiliki kombinasi siih dan mata yang variatif. kujang kuntul bermata lima dengan siih yng cukup panjang, jika kujang kuntul bermata tiga tentu polanya berubah karena siihnya bertambah pendek, tetapi perubahan tersebut hanya pada konstruksi pada bagian waruga yang tidak terlalu lebar.

kujang naga
Kujang Naga menyerupai bentuk binatang mitologi Naga, melambangkan makhluk dunia atas yang cendrung disakralkan. Naga merupakan binatang mitologi yang merupakan perpaduan berbagai jenis binatang, berkaki burung, berbadan ular, bertanduk rusa. Naga sering disimbolkan sebagai superioritas atau kegagahan. Kujang Naga memiliki ukuran yang besar dengan siih yang menyebar dibagian tonggong. Kujang Naga dipakai oleh para Kanduru dan para Jaro.
Kujang naga merupakan kujang yang banyak ditemukan disamping kujang Ciung. Bentuk Kujang Naga sangat berbeda dengan bentuk kujang yang lainnya. Perbedaan yang mencolok adalah pada bagian waruga yang lebar, tadah yang lebar serta siih yang nyaris menutupi seluruh tonggong Kujang naga. Karakteristik bentuk menyerupai bentuk ular naga yaitu sebuah binatang mitologi yang diyakini di benua Asia sebagai simbol kekuatan.
Struktur dasar Kujang Naga adalah bentuk segitiga yang berseberangan. Segitiga bagian atas membentuk kepala dan segitiga disebelah bawah membentuk beuteung dalam bentuk tadah yang lebar. Antara kepala dan perut (tadah) merupakan penyeimbang antagonistik dimana kepala dan perut relatif sama besar dengan posisi berseberangan. Sebagai acuan keseimbangan adalah garis lurus pada paksi yang membelah bagian waruga kujang Naga menjadi dua bagian yang relatif sama besar.

kujang bangkong
Kujang Bangkong menyerupai bentuk binatang Bangkong, melambangkan makhluk dunia bawah, dipakai oleh kelompok masyarakat yang tidak memiliki status kebangsawanan atau ningrat, kujang Bangkong dipakai oleh  masyarakat pada umumnya sebagai pakakas sehari-hari.
Kujang Bangkong merupakan kujang dengan waruga yang cukup lebar dan pendek sehingga bentuknya seperi membulat. Kujang bangkong hampir menyerupai pisau raut pada bagian beuteungnya, perbedaan dengan pisau raut, selain ada hiasan mata dan siih pada tonggong kujang bangkong agak membulat cembung sementara pisau raut justru sebaliknya. Kujang Bangkong terbentuk dari struktur bangun jajaran genjang.

kujang wayang
Kujang Wayang menyerupai bentuk wayang kulit. Kujang wayang umumnya berupa tokoh wanita yang justru dalam cerita wayang tokoh wanita biasanya tidak begitu dominan. Karena bentuk tangkai kujang wayang termasuk kujang Pangarak diperkirakan tokoh wayang wanita sebagai simbolisasi kesuburan karena sudah menjadi konvensi bahwa kesuburan sering dilambangkan oleh sosok wanita, seperti patung Venus Willendorf, Dewi Sri, dan seterusnya. Kujang wayang dengan tokoh laki-laki yang gemuk (seperti sosok Semar) diperkirakan sebagai simbol dari kesuburan.
Kujang wayang didominasi oleh bentuk-bentuk wayang tokoh wanita, sungguh ironis karena tokoh wanita biasanya tidak begitu berperan dalam cerita wayang, hanya tertentu saja seperti tokoh Srikandi, Kunti, Madrim, Drupadi, Pertiwi, Dewi Shinta dan segelintir tokoh lainnya.
Kujang wayang tokoh wanita tersebut biasanya tidak utuh, yang tampak hanya kepala sampai dada (pada bagian tadah). Bentuk dasar kujang ini berupa waruga setengah lingkaran membentuk huruf “C”. Kalau dibuat konstruksinya maka akan terbentuk elips atau lingkaran dengan bulat tidak sempurna seperti tampak pada gambar diatas. Apabila ditarik garis tengah pada elips dengan lonjong terjauh maka akan terbentuk garis yang bertemu dengan garis yang terbentuk dari arah paksi. Titik pertemuan tersebut bisa menjadi acuan batas kepala (papatuk/congo) kujang ini jika ditarik garis siku dari garis tengah tadi melalui elips dalam ke elips luar. Garis siku tersebut sekaligus menentukan arah wajah wayang.
Karakteristik pola dasar seperti ini relatif sama pada kujang-kujang wayang yang lainnya. Contoh kujang wayang diatas bersumber pada koleksi kujang Museum Geusan Ulun Sumedang, coba bandingkan dengan kujang wayang koleksi kujang wayang pada Museum Kasepuhan Cirebon di bawah ini. Kedua kujang wayang tersebut diyakini sebagai tokoh yang berbeda dengan sumber penemuan yang berbeda pula, tetapi menunjukan pola bentuk yang sama.
Karakteristik pola dasar seperti ini relatif sama pada kujang-kujang wayang yang lainnya. Contoh kujang wayang diatas bersumber pada koleksi kujang Museum Geusan Ulun Sumedang, coba bandingkan dengan kujang wayang koleksi kujang wayang pada Museum Kasepuhan Cirebon di bawah ini. Kedua kujang wayang tersebut diyakini sebagai tokoh yang berbeda dengan sumber penemuan yang berbeda pula, tetapi menunjukan pola bentuk yang sama.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tinggi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).

Kelompok Pemakai Kujang
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
Dalam kaitan pemakaian kujang tadi, akan tergambar dari tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan pemerintahan Negara Pajajaran sebagai berikut: Raja, Lengser, Brahmesta, Prabu Anom (Putera Mahkota), Bupati Panangkes dan Balapati, Geurang Seurat, Para Bupati Pakuan dan Bupati Luar Pakuan, Para Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paseban, Para Lulugu, Para Kanduru, Para Sambilan, Para Jaro termasuk Jaro Tangtu, Para Bareusan, Para Guru, Para Pangwereg, Para Kokolot.
Jabatan Prabu Anom (3) sampai para Bareusan, para Guru, juga para Pangwereg (12), tergabung di dalam golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemilikan dan pemakaian kujang, ditentukan oleh kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti:
Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan.
Kujang Jago dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
Kujang Kuntul dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero);
Kujang Bangkong dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan.
Kujang Badak dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya mata. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputren). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu berbadan lebar, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas khas wanita lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran Kujang Bikang (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memakai mata.

Proses Pembuatan Kujang
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
1 Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi, artinya "Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk nyacar (mulai berladang)". Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja). Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat Urang Kanekes (Baduy).

2. Kesucian Guru Teupa(Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut œolah tapa (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan Gaib Sakti sebagai tuahnya.

3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
Emas, perak untuk pembuatan mata atau pamor kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk mata banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
untuk menambah daya ampuh kujang maka dalam pembuatan pamor diolesi ataupun di rendam dalam ramuan beracun. diantaranya bahan ramuan tersebut adalah Peurah (bisa binatang) biasanya bisa Ular Tiru, bisa Ular Tanah,Bisa Ular Gibug, bisa Kelabang atau bisa Kalajengking. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti getah akar Leteng, getah Caruluk (buah Enau) atau serbuk daun Rarawean, dsb. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
lalu dengan kesaktian sang empu, kujang di beri Gaib Sakti sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para Guriyang yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.

4.Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah "Kalangsunda Makalangan" terdapat ungkapan yang menggambarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi "Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan". ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah "Paneupaan" benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan "Guru Teupa" bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat dengan Empu pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.

Cara Membawa Kujang
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
Disoren; yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk Kujang Ageman (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.

Cara Menggunakan Kujang
cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa ganja (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
Berita tadi jika dibandingkan dengan berita Pantun Bogor, ternyata bertabrakan. Sebagaimana diutarakan pada bagian terdahulu, bahwa Kujang Pajajaran merupakan benda tajam yang lengkap memakai ganja (tangkai) dan memakai kowak (sarung). Kalau timbulnya pendapat seperti tadi, hal ini mungkinberanjak dari temuan-temuan yang tergali dari dalam tanah, mayoritas kujang telanjang tanpa ganja tanpa kowak bahkan tanpa mata (berlubang-lubang).
Sebenarnya, keberadaan kujang yang ditemukan seperti itu akibat dari terlalu lamanya tertimbun tanah, sehingga ganja atau kowak-nya yang terbuat dari kayu mengalami lapuk dan hancur. Sedangkan jarang ditemukan kujang yang masih lengkap dengan matanya, inipun mungkin saja setiap penemu kujang tadi mencungkilnya, sebab kebanyakan mata kujang terbuat dari emas, batu permata yang indah-indah, dan cukup mahal harganya. Kujang yang masih lengkap dengan matanya, kini masih bisa dilihat di Museum Geusan Ulun Kabupaten Sumedang.
Pada bagian-bagian terdahulu diutarakan, bahwa kujang memiliki fungsi sebagai pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas.
Sebagai pusaka; tuah/daya kesaktian kujang mengandung nilai sakral. Melalui kekuatan daya gaib/kesaktian tersebut kujang digunakan sebagai pelindung keselamatan diri, keluarga, bahkan masyarakat sekelilingnya, demi terhindar dari marabahaya yang mengancam.
Sebagai pakarang (senjata); kujang dengan ukurannya yang relatif pendek, tidak termasuk alat tebas, tapi tergolong alat tikam, alat tusuk, alat toreh, dan alatkerat. Wujud senjata ini (secara hipotesis), mungkin disesuaikan dengan karakter manusia Sunda Pajajaran itu sendiri yang bersifat defensif tatkala menghadapi marabahaya, tidak bersifat ofensif. Hal ini terungkap dari kisah “Pakujajar Majajaran†yang memberitakan bahwa “Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan†(Sunda Pajajaran bukan mesti pandai berperang, tapi mesti pandai di kala diperangi). Pernyataan ini terbukti pula, bahwa dalam seluruh cerita pantun, tidak ada satu pun kisah yang memberitakan Kerajaan Pajajaran menyerang atau menaklukan kerajaan lain, kecuali malah digempur negara lain. Mengingat karakter Sunda Pajajaran yang defensif tadi, kujang dengan fungsinya sebagai senjata, bukan hanya untuk menyerang tetapi hanya untuk bela diri di kala keadaan susah sangat terdesak. Dalam cara pembelaan diri tersebut, kujang digunakan dengan sekali tusuk ke perut, ketika ditarik mampu merobek-robek seisi perut. Atau dengan sekali toreh dan sekali kerat saja musuh bisa langsung sekarat mendadak dan mati.
Sebagai pangarak (alat upacara); Kujang Pangarak dalam kegiatan upacara menggunakannya dengan dipikul pada satu prosesi tertentu, oleh pelaku barisan terdepan. Dalam keadaan mendesak, kujang semacam ini bisa digunakan sebagai alat membela diri dengan cara ditusukkan atau dilemparkan kepada musuh dari jarak agak jauh, sebab kujang ini bertangkai panjang semacam tombak.
Sebagai pamangkas (alat pertanian); kujang untuk kegiatan ini yaitu Kujang Pamangkas, menggunakannya untuk menebangi pepohonan dalam rangka membuka lahan "huma" (ladang). Sampai dewasa ini kujang semacam ini masih digunakan di lingkungan masyarakat Urang Kanekes (Baduy) dan masyarakat Pancer Pangawinan. Dalam keadaan darurat, kujang ini pun bisa saja digunakan sebagai senjata untuk bela diri jika satu saat si pemakai mendapat serangan dari fihak musuh, dengan cara ditebaskan atau dibacokkan, karena bentuk kujang semacam ini berukuran agak panjang dan agak besar.

Mitologi
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai; "Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang"
Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa.
Cara-ciri Manusia ada 5
Welas Asih (Cinta Kasih), Tatakrama (Etika Berprilaku), Undak Usuk (Etika Berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda Na Raga (Ngaji Badan).
Cara-ciri Bangsa ada 5
Rupa, Basa, Adat, Aksara, dan Kebudayaan

“Heh, ieu pakarang tandang, kujang titilar karuhun! Tanjeurkeun!”Oto Iskandar di Nata (1933)
Amanat Oto Iskandar di Nata (Otista) di atas terkesan sangat patriotik. Seolah menjadi pesan sebelum para pemuda Pasundan turun ke gelanggang peperangan. “Heh, inilah senjata perang, kujang peninggalan leluhur. Hunuslah!” Tanpa membawa kujang, sebuah pertarungan seakan menjadi tidak afdol. Perang apakah yang berlangsung saat itu? Ternyata, amanat itu untuk pengelola koran Sipatahoenan. Disampaikan saat koran Sunda terbesar sepanjang sejarah itu berulang tahun yang ke sepuluh. Mengapa kujang disebut untuk memberi semangat pengelola koran? Rupanya, agar Sipatahoenan tangguh “berperang” di lapangan jurnalistik, khususnya dalam menghadapi lembaga pers Belanda.
Penyebutan kujang bagi pengelola koran adalah anjuran agar mereka bisa menulis secara tajam, menyuarakan kebenaran. Dalam konteks saat itu, para jurnalis diharapkan agar mampu melindungi pihak yang lemah, membasmi setiap racun dalam kehidupan bermasyarakat, mengabdi kepada keadilan, dan menerangkan persoalan yang gelap. Amanat itu tetap relevan sampai saat ini.
Amanat Otista itu menunjukkan keterikatan orang Sunda kepada kujang. Kujang dianggap sebagai penyambung antara masa bihari dan kiwari. Dengan menyebut kujang, seorang Sunda diharapkan akan mengingat jatidirinya. Selalu kembali kepada identitas primordialnya yang dihidupi oleh alam. Dengan alam yang kaya itu bisa dipahami kalau orang Sunda cenderung defensif, tidak terpacu untuk berperang. Dalam bahasa lain, seraya mengutip Pantun Bogor, Anis Djatisunda menyebutkan, “Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan. Sunda Pajajaran bukan harus pandai berperang, tapi mesti cerdik saat diperangi.”
kujang yang pada awalnya sebagai pakarang petani, di era kemudian bermetamorfosis mengiringi hajat hidup masyarakat Sunda. Zaman silih berganti tetapi kujang tetap diingat dengan berbagai penyesuaian makna.
Kehidupan kita sering diibaratkan dengan sebuah peperangan. Setelah perang fisik di era kemerdekaan, kita lalu memasuki perang ideologi. Di era global kini, kita dihadapkan pada perang budaya dan ekonomi. Apakah menyebut kujang masih relevan untuk itu?
Kujang memang bukan senjata untuk perang fisik, apalagi ideologi, budaya, dan ekonomi. Kujang adalah penjaga spirit orang Sunda. Dalam perang apa pun, spirit dan semangat adalah yang utama. Senjata canggih memang penting, tetapi the man behind the gun, jauh lebih penting. Bagi orang Sunda, semangat keberanian itu telah diwariskan leluhurnya melalui simbol kujang. Sebagai generasi penerus Sunda kita dipenuhi oleh simbolisasi kujang itu. Menjadi wartawan, diingatkan pada kujang. Pergi bertempur melawan tentara Belanda, dibekali kujang. Dalam kecamuk perang ideologi, membela diri dengan koran bernama Kudjang.
Kini, dalam perang ekonomi dan budaya, spirit kujang itu terasa melemah. Apakah karena kujang secara fisik telah hilang dari bumi Pasundan dan dijual kepada kolektor asing? Ataukah para intelektual Sunda merasa tak peduli karena meremehkan nilainya? Gugatan pada melemahnya spirit hidup orang Sunda, saat ini semakin menguat. Buku mutakhir Judistira K. Garna (2008), Budaya Sunda Melintas Waktu Menantang Masa Depan, menjadi contohnya, bahwa etos kerja orang Sunda modern itu “melemah”. Daya tahan ekonomi orang Sunda berhenti pada generasi ketiga. Karena daya tahan ekonomi lemah, maka daya tahan budaya pun ikut melemah. Maka “terbanglah” pusaka-pusaka Sunda itu ke negeri asing ditukar lembaran dolar. Dan tinggallah orang Sunda menyesali, lalu menyalahkan orang lain.
Beruntung, kita masih memiliki sejumlah kolektor pituin Sunda, yang mengoleksi kujang karena kecintaan semata. Bukan karena uang melimpah atau untuk mengangkat gengsi hidup. Di tangan merekalah secara fisik, kujang diselamatkan. Dari koleksi fisik kujang itu pula diharapkan spiritnya dapat digali kembali.
Maka tidak salah jika Otista (1938) pernah berpesan, “Nonoman Sunda, geuwat bareunta, geuwat kukumpul tanaga jeung pakarang, nu diwangun ku kaweruh pangpangna adat tabeat anu kuat, nyaeta: kawekelan, kadaek, kakeyeng, karep jeung kawanen. Upama teu kitu, lapur, tanwande Nonoman Sunda kadeseh dina juritna pikeun neangan kahirupan. Para pemuda Sunda, cepat buka mata, cepat kumpulkan tenaga dan senjata, yang dibangun dengan pengetahuan adat tabiat yang kuat, yaitu: kesungguhan, kemauan, ketekunan, niat yang kuat dan keberanian. Kalau tidak demikian, akan sia-sia, pasti pemuda Sunda terdesak di medan perang dalam mencari penghidupan.”
semoga saja semangat kujang kembali menggema , mengingat semakin menurunnya rasa kecintaan kita pada pelestarian kebudayaan. khususnya kebudayaan sunda, kebudayaan kita sendiri selaku urang sunda. sebagai warisan leluhur kita yang adi luhung yaitu karuhun sunda.. karuhun pajajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar